pink
Politik Identitas dalam Pemilu: Menyatukan Aspirasi atau Memecah Harmoni?
Kamis, 21 November 2024 07:55 WIB
Di tengah dinamika pemilu, politik identitas menjadi isu panas yang tak pernah usai. Apakah ia hadir untuk memperkuat kebanggaan atas keberagaman, atau malah menjadi alat yang merusak harmoni?
Politik identitas adalah fenomena yang sering muncul dalam setiap proses pemilu. Politik identitas kerap digunakan untuk mendorong dukungan kelompok tertentu di Indonesia, yang memiliki keragaman budaya, etnis, dan agama yang luar biasa. Untuk menarik pemilih, politik identitas melibatkan penggunaan elemen seperti agama, suku, atau kelompok sosial tertentu. Ini sering dilakukan dengan menekankan kandidat yang memiliki kesamaan atau perbedaan identitas.
Ada banyak perdebatan tentang fenomena ini. Meskipun politik identitas dapat membantu kelompok tertentu bersatu, juga dapat menyebabkan konflik di masyarakat. Menurut beberapa pakar, politik identitas dapat membahayakan demokrasi karena menggiring pemilih untuk memilih berdasarkan identitas daripada kualitas atau program yang ditawarkan.
Menurut Clarissa Rile Hayward, politik identitas adalah ketika seseorang berpartisipasi dalam gerakan yang sama berdasarkan pengalaman mereka, masalah politik, dan tujuan mereka untuk kebaikan kelompok mereka. Combahee River Collective, sebuah kelompok feminis kulit hitam, berpendapat bahwa politik identitas secara konseptual berbeda dari politik, yaitu politik liberal yang dibuat berdasarkan keinginan individu. Hayward dan Watson).
Pemilu, sebagai salah satu pilar demokrasi, sering kali menjadi ajang untuk menyalurkan aspirasi politik masyarakat. Namun, di balik euforia pesta demokrasi, politik identitas sering muncul strategi untuk memenangkan hati pemilih. Pertanyaannya, apakah politik identitas menjadi ancaman yang memecah belah masyarakat, ataukah justru mampu memperkuat persatuan?
Keberadaan politik identitas memang menjadi isu yang terus menghantui keberlangsungan demokrasi di Indonesia Selain itu, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan karena masyarakat didorong untuk memilih pemimpin yang sama dengan dirinya sendiri.
Fenomena ini mungkin mengalihkan perhatian dari pemilihan pemimpin berdasarkan kebijakan, kualitas, dan kapasitas ke arah kesamaan suku, agama, etnis, atau bahkan ideologi. Ini pada akhirnya dapat memperburuk polarisasi sosial, menimbulkan ketegangan antar kelompok, dan menghambat proses mencapai konsensus nasional yang demokratis dan inklusif.
Seperti yang diketahui, identitas politik adalah alat politik yang digunakan oleh suatu kelompok, ras, etnis, suku, negara, budaya, agama, atau yang lain untuk tujuan politik tertentu. Kemala Chandrakirana (1989), mengungkapkan bahwa politik identitas sebagai alat politik yang digunakan oleh para elit politik dan penguasa maupun pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami "orang asli" yang menghendaki kekuasaan bagi mereka bagi "orang pendatang" yang harus melepaskan kekuasaan.
Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, politik identitas muncul sebagai upaya kandidat tertentu untuk memenangkan pemilu dengan menggunakan sentiment suku, agama, dan ras (SARA). Ini adalah contoh nyata bagaimana identitas agama digunakan dalam politik untuk memenangkan pemilu, dengan beberapa pihak menggunakan isu agama untuk menyerang calon yang memiliki latar belakang agama berbeda, yang menyebabkan konflik. Sampai hari ini, konflik ini masih ada, merusak hubungan sosial antar kelompok.
Pemilu 2019 di Indonesia adalah contoh yang menarik dari politik identitas dalam pemilu. Dalam pemilu tersebut, isu-isu identitas, terutama yang berkaitan dengan agama, menjadi sangat dominan. Rivalitas yang muncul antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden merupakan salah satu masalah yang paling menonjol. Dukungan kepada kedua calon presiden ini sering kali dikaitkan dengan identitas agama, di mana Joko Widodo didukung oleh kelompok-kelompok yang lebih moderat, sementara Prabowo Subianto mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok yang lebih konservatif.
Meskipun demikian, pemilu 2019 juga menunjukkan bahwa politik identitas tidak selalu berakhir dengan perpecahan. Setelah pemilu selesai, upaya rekonsiliasi dan persatuan tetap dilakukan oleh berbagai pihak. Bahkan, Joko Widodo sendiri mengundang Prabowo untuk bergabung dalam kabinetnya, yang bisa dianggap sebagai langkah untuk meredakan ketegangan yang muncul selama pemilu. Ini menunjukkan bahwa politik identitas, meskipun dapat menciptakan polarisasi, masih memungkinkan untuk menciptakan ruang bagi rekonsiliasi dan persatuan setelah pemilu.
Politik identitas, jika terus berlangsung, dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia jika tidak dikelola dengan baik. Politik identitas hanya akan menimbulkan konflik di antara masyarakat. Keutuhan bangsa Indonesia yang beragam akan hancur apabila politik identitas tidak dihentikan. Indonesia berdiri atas perjuangan bersama berbagai kelompok masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu.
Oleh karena itu, seluruh warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa terkecuali. Mengingat Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya, ras, agama, dan suku, sangat penting untuk saling menghormati dan menghargai. Persatuan dan kesatuan bangsa harus menjadi hal yang lebih utama daripada kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Namun, di sisi lain, politik identitas tidak selalu membawa dampak negatif. Ada sisi positif yang dapat muncul jika politik identitas dikelola dengan baik. Ketika digunakan untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan kelompok yang terpinggirkan atau minoritas, politik identitas dapat menjadi alat untuk mendorong kesetaraan dan keadilan sosial yang lebih besar.
Dalam konteks ini, politik identitas berfungsi sebagai sarana untuk memastikan pengakuan dan representasi bagi mereka yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam sistem politik. Amartya Sen, dalam bukunya ”Identity and Violence” (2006), menegaskan bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, dialog antar kelompok yang berbeda sangat diperlukan untuk mengurangi konflik. Politik identitas yang berfokus pada pluralisme dan inklusivitas memiliki potensi untuk memperkaya demokrasi dengan memastikan bahwa semua suara, termasuk dari kelompok minoritas, didengar dan dihargai.
Dengan cara ini, politik identitas dapat memainkan peran penting dalam menciptakan kesetaraan dan harmoni dalam masyarakat. Jika digunakan untuk memperkuat kebersamaan dan solidaritas, bukan memecah belah, politik identitas dapat menjadi penguat persatuan. Dengan mendorong penghormatan terhadap keberagaman, politik identitas mampu membantu menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil, sekaligus memperkuat fondasi demokrasi.

Mahasiswa
1 Pengikut

Politik Identitas dalam Pemilu: Menyatukan Aspirasi atau Memecah Harmoni?
Kamis, 21 November 2024 07:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler